Pada usia delapan tahun, Sri Izzati telah menjadi penulis pertama serial Kecil-Kecil Punya Karya. Buku pertamanya yang berjudul Kado untuk Ummi mengantarkannya pada beragam penghargaan. Kak Izzati, panggilan akrabnya, berhasil mendapatkan penghargaan Islamic Book Fair untuk kategori Novel Islami Terbaik (2011) dan menjadi Duta Bahasa Jawa Barat (2016). Selain menulis dan mengajar, Kak Izzati juga menjadi seorang UX Writer di Jakarta. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan magisternya dalam bidang Fiction Writing di Columbia University, New York. Kini, Kak Izzati merintis kelas menulis independennya sendiri untuk umum.
Pada seminar yang diselenggarakan KKPK ini, Kak Izzati berbagi cerita tentang pengalamannya menulis sejak berusia dini hingga tetap produktif menulis dalam kehariannya.
Apa kegiatan Kak Izzati saat ini?
Aku baru saja pulang setelah menyelesaikan kuliah S2 di Fiction Writing, Columbia University. Selain itu, aku sekarang bekerja sebagai UX Writer di Jakarta. Saat ini juga aku mengajar les menulis untuk umum, khususnya untuk usia 18 tahun ke atas.
Bagaimana proses menulis yang dialami Kak Izzati?
Aku mulai menulis sejak berusia lima tahun, berarti dua tahun setelah aku bisa membaca. Sejak usia tiga tahun, aku sudah terbiasa membaca banyak buku dan majalah komik dari Mizan. Dua orang kakakku yang waktu itu berusia delapan dan sembilan tahun sudah memiliki perpustakaan kecil sehingga aku menjadi sangat dekat dengan buku dan membaca. Keseharian aku adalah bersama buku—bisa dikatakan, tidur pun dengan buku. Secara mandiri pun, ketika membutuhkan hiburan, otomatis yang diraih adalah buku, sebab jenis buku yang ada di perpustakaannya memang beraneka ragam, seperti buku-buku anak terjemahan yang tipis, bergambar bagus dan jenis tulisannya besar, ada juga kumpulan cerpen dari majalah Bobo. Aku ingat bahwa buku-buku yang kubaca ini adalah pilihanku sendiri, karena gambar-gambarnya bagus.
Meski aku memiliki privilese berupa akses pada buku sejak kecil di rumah, Ibu juga sering mengajak ke toko buku, perpustakaan, taman bacaan. Interaksiku dengan buku akhirnya menjadi sangat dekat, dan orangtuaku selalu mengawal jenis bacaan yang ada agar menyesuaikan dengan usia perkembanganku. Mereka hanya mengizinkanku memiliki buku baru kalau buku-buku di rumah sudah selesai dibaca, dan memintaku menceritakan kembali semuanya.
Setelah menjadi Duta Bahasa Jawa Barat dan mendirikan les menulis, aku menyadari bahwa memang yang dirawat dari kebiasaan menceritakan kembali sewaktu kecil adalah elemen-elemen dari literasi. Pemahamanku sekarang, literasi itu tidak hanya membaca dan menulis saja, tetapi memahami bacaan. Sepemahamanku, setidaknya ada empat siklus tentang literasi, yaitu cara mendapatkan bahan bacaan, membaca, memahami dan menganalisis, serta terakhir adalah membuatnya. Cara kita membuatnya bisa beragam, mulai dari menceritakan kembali sampai menuangkan ide-ide sendiri.
Ini adalah siklus yang sehat karena setelah mencari, membaca, dan memahami, kita terpantik untuk menulis atau turut berkarya. Literasi ini sangat apik; selain membaca teks, kita juga dapat membaca konteks untuk memahami maksud dan maknanya. Kita menjadi lebih tahu alasan merasa sedih atau semangat setelah membaca suatu karya. Semakin sering berinteraksi dengan buku, kita semakin dapat memahami hal-hal tersirat dari suatu bacaan yang dimaknai berbeda-beda setiap orangnya. Hal ini menjadikan kita lebih kaya dengan empati, dan memahami kondisi di luar buku bacaan, padahal informasinya berasal dari bacaan itu sendiri.
Selain itu, pertukaran informasi yang terjadi di luar buku juga menjadi esensi lain dari membaca. Ketika kita mendiskusikan atau menceritakan buku bacaan, hal itu menambah informasi, ilmu, dan kesenangan kita sebagai pembaca.
Berarti membaca juga memiliki dampak positif dan tidak bisa dianggap remeh, ya?
Betul, dan pepatah “buku adalah jendela dunia” ini menjadi gerbang untuk memperoleh banyak hal, bukan hanya informasi teknis tentang dunia melainkan juga akses cara berpikir orang-orang, baik itu penulis ataupun para tokoh dalam cerita. Misalnya, ada seorang tokoh dalam cerita yang terjatuh tapi malah tertawa. Nah, hal itu membuat kita belajar bahwa kejadian-kejadian serupa ternyata bisa ditanggapi berbeda oleh setiap orang, dan perbedaan pemaknaan membuat kita menjadi lebih kaya dalam merasa juga memahami orang lain.
Terlebih lagi, pengalaman menulisku sekarang dibandingkan dengan Izzati yang berusia 8-12 tahun ini berbeda. Jadi, setiap kali ada sharing, malah rasanya aku ingin menarik Izzati versi yang itu. Bagaimanapun juga, Izzati kecil yang mengalami prosesnya. Namun, bagiku menulis bukan sekadar kegiatan eksklusif untuk menjadi penulis, melainkan juga untuk berkomunikasi. Kelak ketika sudah dewasa, kita menjadi lebih mampu menghargai keragaman rasa dan tekstur kata yang keduanya memiliki banyak makna. Selain itu, kita juga terbiasa dengan proses menerjemahkan isi kepala kita menjadi tulisan yang awalnya mungkin hanya sekadar kata-kata acak tanpa makna atau tidak runut. Dengan begitu, kita pada dasarnya sedang mengubah sebuah proses abstrak dalam kepala menjadi bentuk tulisan yang bisa kita baca. Proses ini bisa membantu kita merunutkan isi pikiran, meredakan emosi, dan semua hal yang dialami secara emosi dapat diatasi dengan menulis.
Bisa dikatakan juga aku adalah living, breathing proof, saksi dan bukti hidup, ketika ada Ayah dan Bunda bertanya, “Apa, sih, gunanya menulis?” Dan menulis juga menjadi hubungan terpanjang yang aku miliki seolah aku memang hanya bisa menulis.
Apakah butuh konsistensi untuk bisa menulis sejak lima tahun sampai sekarang?
Iya, dan manfaat menulis juga selain untuk berkomunikasi adalah menjadi sponsorship dalam hidupku, bisa membawaku ke berbagai tempat yang baik dan penuh ilmu. Dulu masuk SMP dan SMA, orang-orang masih berlomba untuk mendapat passing grade secara akademis. Karena nilai akademikku tidak secemerlang teman-teman dan aku cenderung sangat aktif di kegiatan non-akademis, seperti tae kwon do, musik, dan menari, dengan adanya bukuku yang diterbitkan Mizan, serta bantuan dari Kak Andi Yudha, aku bisa masuk SMP dan SMA favorit pada saat itu melalui jalur prestasi menulis. Jalur prestasi untuk menulis ini belum pernah ada sebelumnya, dan aku sangat bersyukur bisa mendapatkannya.
Buku bisa dikatakan sudah membuka kesempatan sebagai prestasi bagiku, hingga aku bisa mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika selama satu tahun di SMA. Prestasi menulis itu juga mengantarkanku menjadi seorang Duta Bahasa Jawa Barat.
Pengalaman menulis sejak kecil itu akan berakumulasi dengan pengalamanku pergi ke berbagai tempat sehingga ilmu dan cara pandangku akan tecermin dalam tulisan-tulisanku. Jadi selain dengan buku, bawalah anak-anak Ayah dan Bunda ke berbagai tempat, lalu lakukan diskusi. Mendiskusikan buku dengan anak akan memantik proses berpikir yang serupa dengan membaca buku. Ketika kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sebenarnya kita pun mengakses informasi seperti pada saat kita membaca.
Saranku bagi Ayah dan Bunda, ajaklah anak-anak untuk hidup sehidup-hidupnya hidup. Maksudnya, bantulah anak-anak kita, juga diri kita sendiri, untuk belajar dan menyerap segala informasi dan ilmu tentang hidup itu sendiri. Selama kita beraktivitas di luar, seperti pergi ke taman atau tempat lainnya, ada berbagai perasaan yang mungkin membuat kita tidak nyaman, takut, atau lainnya. Pada saat itu, dalam hal ini, aku pribadi merasa bahwa isi kepalaku secara spontan aktif dan mencari tahu apa dan kenapa lingkungan di sini berbeda dengan Jakarta atau Bandung.
Selain itu, kita juga harus menyadari bahwa menulis adalah sebuah proses, sehingga tidak mungkin kita mendapatkan hasil yang bagus, dengan logika yang runut. Setidaknya, kita harus menyadari bahwa menulis adalah proses sederhana menerjemahkan isi kepala ke bentuk yang dapat kita lihat. Kita bisa memakai satu buku tulis untuk menulis diari tentang kegiatan kita sehari-hari sebagai latihan untuk memindahkan isi kepala kitaa ke dalam bentuk tulisan.